Friday, 3 August 2018

*Isu Cina vs Pribumi Sudah Sampai ke Masyarakat Bawah*

*Isu Cina vs Pribumi Sudah Sampai ke Masyarakat Bawah*


Dalam sebuah penerbangan, seorang ibu-ibu usia 50an akhir duduk di sebelah saya. Beliau menyapa dan mulai berkenalan. Awalnya tak ada yang aneh. Tanya asal, pekerjaan dan keluarga. Biasa. Sampai akhirnya si Ibu ini mulai bertanya apakah di Madura ada orang cina nya? jelas saya jawab ada, banyak.

"Kalau ada orang cina gitu jangan diterima mas," kata si ibu. Dia melanjutkan bahwa orang cina itu kaya-kaya, sementara pribumi miskin-miskin dan melarat. Di matanya itu terlihat tidak adil.

Saya tentu tidak bisa membenarkan obrolan seperti ini. Apalagi penumpang di depan dan belakang adalah orang-orang cina. Jadi saya jawab bahwa tidak bisa mengusir seperti itu. Orang cina di Madura sudah jadi orang Madura, dari kakek nenek mereka sudah di sana. Mana bisa diusir? Sama seperti kampung arab di semua kabupaten di Madura, tidak bisa kita usir ke arab.

Sebenarnya pengalaman ini adalah pengalaman yang kesekian. Saya tahu betul bahwa isu SARA dalam masyarakat, yang beranggapan cina itu enak dan kaya raya, sementara pribumi miskin-miskin, adalah isu yang benar-benar nyata beredar. Ketakutan terhadap etnis cina sudah terbangun sedemikian rupa.

Di tanah kelahiran saya, isu soal cina menguasai tanah-tanah di Indonesia juga sempat beredar. Hoax jutaan pekerja cina masuk Indonesia juga sudah mendapat pembenaran dari media-media mainstream terpercaya. Bahkan sempat salah seorang tetangga bercerita kalau cina akan menjajah Indonesia. Lengkap dengan tuduhan bahwa Jokowi PKI dan pemerintah yang sekarang adalah pemerintah komunis.

Tapi pertemuan dengan ibu-ibu di dalam pesawat tadi terasa luar biasa karena kami belum pernah bertemu sebelumnya. Sama-sama orang baru. Logika saya, jika si ibu itu berani berpendapat atau 'berdakwah' kepada orang-orang baru, maka bisa dipastikan dia sudah lebih dulu menebar ketakutan tersebut ke semua orang yang dia kenal.

Dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa isu SARA, pribumi cina, dengan segala fitnah dan ketakutannya, sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat bawah. Media dan beberapa tokoh tertentu memiliki andil dalam menciptakan ketakutan ini.

Isu seperti ini cukup berbahaya jika terus dipelihara atau dikompori. Ketidak sukaan masyarakat terhadap etnis cina bisa berujung fatal, kerusuhan. Mungkin pertanyaan kita selanjutnya adalah, bagaimana cara memperbaiki lingkungan persepsi buruk tentang cina?

Sebenarnya mudah saja. Para politisi, pemuka agama kondang, media-media mainstream, harus kompak menghentikan permainan isu soal cina. Karena pada akhirnya itu tidak berpengaruh terhadap pemerintahan Jokowi. Sementara resiko yang harus kita tanggung bersama sangatlah mahal, perpecahan.

Tapi nampaknya para politisi, ustad kondang dan media-media mereka belum bersedia berhenti bermain isu cina. Karena memang itu adalah cara termudah untuk menjaga anti Jokowi tetap anti cina. Itu adalah cara termudah untuk menyambung-nyambungkan cina dengan penista agama. Sehingga resiko perpecahan tidak diperhitungkan, yang nampak terang di depan mata para politisi tersebut hanya satu, kekuasaan.

Jika sudah begini maka menjadi tugas kita untuk keluar melawan. Kita tidak bisa membiarkan begundal politik terus menanamkan bom waktu kebencian. Kita harus berani bersuara dan menjelaskan.

Saya sadar, itu tidak mudah. Sebagian besar kita lebih nyaman diam dan 'menjaga hubungan baik.' Kita tidak ingin ribut-ribut atau berdebat. Karena menang atau kalah debat, konsekuensinya sama; hubungan jadi renggang. Maka kitapun beranggapan biarlah mereka dengan imajinasinya, sementara kita dengan kewarasan yang sempurna.

Di saat kita diam dan membiarkan, di saat yang sama mereka terus bergerilya menanamkan bom ketakutan terhadap cina. Inilah yang terjadi sekarang. Sehingga jangan heran kalau banyak orang berhasil diprovokasi oleh isu kebangkitan PKI. Bahkan di Jabar sana, sempat ada orang gila dipukuli hanya gara-gara dituduh PKI.

Pertanyaannya sekarang bukan tentang apakah kita mau melawan atau tidak, tapi apakah kita mau membiarkan suasana damai di negara ini hancur hanya karena satu dua orang provokator? Menurut saya tidak. Dibanding kita kehilangan lebih banyak orang hanya karena provokasi, lebih baik kita kehilangan provokator itu sendiri.

Ini bukan sekedar tentang Jokowi, ini tentang Indonesia, negara yang kita tempati saat ini. Apapun alasannya, apapun motivasinya, kita tidak akan pernah menerima provokasi SARA sebagai jalan menuju kekuasaan. Begitulah kura-kura.