Perang dagang AS vs China. AS vs Indonesia
( ekonomi dan politik)
AS akan me- review GSP (The Generalized System of Preferences/Sistem Preferensi Umum) Indonesia dan ada sekitar 124 yang akan kena watch list. Indonesia menyikapinya dengan tenang bahwa Indonesia akan membalas balik. Tetapi upaya lobi terus dilakukan oleh kedua belah pihak baik AS maupun Indonesia. Yang jelas kalau eskalasi sikap keras Trump menutup jalur perundingan maka perang dagang tidak bisa dihindari. Apakah AS untung ? Tidak juga. Kapitalisasi bisnis AS di Indonesia sangat besar. Kalau Indonesia menerapkan tarif yang sama seperti AS maka petani AS akan kehilangan pasar kedelai di Indonesia. Banyak industri AS high Tech dibidang telekomunikasi , IT dan alat berat akan kena imbas kehilangan pasar.
Apakah Indonesia untung ? Tidak juga. Pasar ekspor Indonesia ke AS sampai sekarang termasuk besar. Kalau perang dagang dilakukan akan banyak eksportir kita kehilangan pasar. Singkatnya tidak ada yang untung. Dampaknya bagi dunia usaha di AS dan Indonesia sangat luas. Dan ini dampaknya ke bursa saham dan pasar uang secara signifant. Kurs mata uang akan bertumbangan. Sangat sistemik sekali. Lantas mengapa sampai AS melakukan perang dagang dunia? Karena Trumps menganggap selama ini AS telah dibohongi negara lain dalam perdagangan bebas. AS lebih banyak dikorbankan daripada di untungkan. Padahal masalah ekonomi AS bukan karana kebebasan pasar tetapi karana struktur ekonominya lebih banyak kepada kekuatan konsumsi domestik tanpa didukung oleh perluasan industri dan daya saing.
Ciri khas negara yang tumbuh ekonominya karana kekuatan konsumsi domestik adalah kebijakan kredit longgar. Kalau tadinya QE digunakan untuk melonggarkan likuiditas namun faktanya tidak mengalir ke rakyat lewat konsumsi. Karena syarat kredit yang ketat. LTV yang hampir 100% dan credit rating yang tinggi bagi debitur sehingga sulit bagi rakyat dan dunia usaha mengakses likuiditas perbankan. Akhirnya uang mengalir ke pasar uang global yang berbunga tinggi seperti negara emerging market. Di era Trumps, suku bunga dinaikkan agar likuiditas mengalir pulang kampung. Pada waktu bersamaan Trumps menurunkan LTV dan pelonggaran credit rating. Akibatnya bank berlomba lomba menawarkan pinjaman mudah kepada publik. Tetapi sebagian besar uang perbankan mengalir ke kredit konsumsi. Tidak produksi. Mall padat didatangi pengunjung. Purchasing power meningkat. Pengangguran terserap. Semua sektor menggeliat.
Tetapi itu semua bukan karena income yang berlebih akibat upah dan laba meningkat. Itu semua karana longgarnya kredit. Hanya masalah waktu apabila AS tidak bisa meningkatkan produktifitas maka daya beli yang dipicu oleh hutang itu akan berbalik jadi hiper inflasi dan jatuhnya sistem perbankan akibat kredit macet. Masalahnya bagaimana meningkatkan produksi bila daya saing AS rendah? Itulah alasan pragamatis Trumps meningkatkan tarif impor agar produksi dalam negeri dapat bersaing sehingga orang terpacu untuk berproduksi. Akan tetapi Trump lupa bahwa walau produksi dalam negeri rendah namun semua konglomerat AS punya basis produksi di China dan negara lain. Kalau perang dagang diterapkan Trump maka yang pertama rugi adalah para konglomerat AS yang juga pembayar pajak mayoritas terbesar di AS. Tentu laba mereka akan turun dan penerimaan pajak AS juga turun.
Trump menyadari ini. Sikapnya sama seperti panglima perang AS Eisenhower yang mendapat perintah dari presiden AS menjatuhkan Hitler melalui pendaratan di Normandi yang disadari akan jatuh korban lebih 1 juta tentara AS. Ike tidak peduli karana tujuannya memenangkan peperangan bukan pertempuran. AS sadar bahwa raksasa ekonomi masa depan adalah Indonesia dan China. Dia engga peduli berapa korban jatuh. Targetnya bagaimana menjatuhkan rezim komunis di china dan rezim Jokowi di Indonesia. Trump sadar bahwa kapasitas ekonomi AS itu raksasa yang akan mampu perang panjang. Tetapi China dengan beban 1 miliar lebih penduduk dan Indonesia yang seluas London Siberia, tidak akan mampu bertahan lama. Hanya masalah waktu , Trump berkeyakinan dua negara ini akan jatuh untuk tunduk dibawah hegemoni AS.
China beruntung karena rakyatnya sudah selesai dengan masalah politik. Mereka setia berjuang mendukung pemerintah. Apapun resikonya. Mereka siap suffering. Tetapi di Indonesia ada banyak proxy siap menjadi pengkhianat atas nama agama atau nasionalis. Siap menjadi presiden proxy AS. Itulah yang mengkawatirkan. Semoga Tuhan bersama kita.
Semoga Jokowi tetap diberi kekuatan dan kesabaran menghadapi perang yang tidak mudah...